Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini, dan
akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim
dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Shofwan bin ‘Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.”
Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya
penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan
sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki
sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang
mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu,
kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR.
Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671]).
Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara
langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah
meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut
(lihatFath al-Bari [1/237]).
Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari
dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara
mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang
alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan
orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu
sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalamKitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu
di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas.
Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan
hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan
ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai.
Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak
ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.”
(lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Allah subhanahu menjadikan
ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi
tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula
tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak
diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan.
Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu
itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang
hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang
benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata
yang ringkas dan tepat sasaran.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata kepada para
sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para
ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang
suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya
amat sedikit.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu
yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam
hatinya, oleh sebab itu mereka bisa memahami berbagai perumpamaan yang
diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 50).
Imam Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang
berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang
yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga
mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada Allah. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS.
Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para
ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling
mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam
kacamata syari’at Islam (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang
maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan
tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada
Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa
takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga
menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun
dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah
maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat
kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir
kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur’an.”
(lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai
Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika
ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah
kamu ketahui?”. Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang
selama dia hidup di dunia melainkan pasti menanyainya pada hari kiamat
(lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi
memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat
Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa
menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia
adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk
memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah.” (lihat
Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki’, hal. 69)
Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku
tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk
menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang
paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka
beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.”
(lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa
banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara
dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang
lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah.
Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri
justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab
Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat
Allah. Wassalam.” (lihatTa’thirul Anfas, hal. 570)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat
kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli
ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.”
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah
tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi
mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “…
Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha
Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya
amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak
akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang
lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu
itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu
dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan
dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata
ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang
berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang
sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun
tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan
belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang
dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki
rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa
menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud
kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama
kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan
perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi
salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia
biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin
beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu
sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam
kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku berkata kepadanya,
“Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.”
Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian
ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”.
Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah
kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku!
Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai
seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37)
Kamis, 30 Mei 2013
Rabu, 15 Mei 2013
Keutamaan dan Amal Bulan Rajab
Keutamaan Bulan Rajab
Bulan Rajab adalah salah satu dari Empat Bulan Haram atau yang dimuliakan Allah swt. (Bulan Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” At Taubah: 36Fenomena pergantian bulan di mata muslim adalah salah satu sarana untuk mengingat kekuasaan Allah swt dan dalam rangka untuk mengambil ibrah dalam kehidupan juga sebagai sarana ibadah.
Karena itu, pergantian bulan dalam bulan-bulan Hijrah kita disunnahkan untuk berdo’a, terutama ketika melihat hilal atau bulan pada malam harinya. Do’a yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah saw. adalah:
اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِاْلأَمْنِ وَاْلإِيْمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَم رَبِّيْ وَرَبُّكَ اللهُ هِلاَلَ رُشْدٍ وَخَيْرٍShaum di Bulan Rajab
“Ya Allah, Jadikanlah bulan ini kepada kami dalam kondisi aman dan hati kami penuh dengan keimanan, dan jadikanlah pula bulan ini kepada kami dengan kondisi selamat dan hati kami penuh dengan keislaman. Rabb ku dan Rabb mu Allah. Bulan petunjuk dan bulan kebaikan.” (HR. Turmudzi)
Shaum dalam bulan Rajab, sebagaimana dalam bulan-bulan mulia lainnya hukumnya sunnah. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah aw. Bersabda:
“Puasalah pada bulan-bulan haram (mulya).” Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad.Rasulullah saw. juga bersabda:
“Kerjakanlah ibadah apa yang engkau mampu, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan hingga kalian bosan”.Ibnu Hajar, dalam kitabnya “Tabyinun Ujb”, menegaskan bahwa tidak ada hadits, baik sahih, hasan, maupun dha’if yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Rajab.
Bahkan beliau meriwayatkan tindakan Sahabat Umar yang melarang mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa.
Ditulis oleh Imam Asy Syaukani dalam Kitabnya, Nailul Authar, menerangkan bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur As Sam’ani yang mengatakan bahwa tidak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus.
Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.
Namun demikian, sesuai pendapat Imam Asy Syaukani, bila semua hadits yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadits-hadits yang umum, seperti yang disebut di atas, itu cukup menjadi hujah atau landasan.Berkata Imam Nawawi rhm, (saya kutip dari Majelis Rasulullah)
“Memang betul tak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada prelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan rajab maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa rajab dan ibadah lainnya di bulan rajab” (Syarah Nawawi ala shahih Muslim)
Do’a Bulan Rajab
Bulan Rajab merupakan starting awal untuk menghadapi Bulan Suci Ramadhan. Subhanallah, Rasulullah saw. menyiapkan diri untuk menyambut Bulan Suci Ramadhan selama dua bulan berturut sebelumnya, yaitu bulan Rajab dan bulan Sya’ban. Dengan berdoa dan memperbanyak amal shalih.
Do’a keberkahan di bulan Rajab. Bila memasuki bulan Rajab, Nabi saw. mengucapkan,
“Allaahumma Baarik Lana Fii Rajaba Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana. “Ya Allah, berilah keberkahan pada kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.”Hadits di atas disebutkan dalam banyak keterangan, seperti dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346). Al-Bazzar di dalam Musnadnya -sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar- (616). Ibnu As-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658). Ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939). Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534). Kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14). Al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473).
Memperbanyak amal shaleh, seperti shaum sunnah, terutama di bulan Sya’ban. Diriwayat oleh Imam al-Nasa’i dan Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Huzaimah. Usamah berkata pada Nabi saw.
“Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Engkau lakukan dalam bulan Sya’ban.’Wallahu a’lam
Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang. Di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa.”
Selasa, 14 Mei 2013
Sejarah Nasyid
Nasyid merupakan salah satu seni Islami dam bidang tarik suara dan nyanyiannya disebut lagu nasyid. Lagu nasyid umumnya dinyanyikan dengan nuansa Islam dan lirik-liriknya mengandung nasihat, memuji Allah, kisah para nabi, dan lain-lain yang berkaitan dengan syiar Islam.
Nasyid ini biasanya dinyanyikan dengan bentuk acappela dan hanya diiringi oleh alat musik gendang. Iringan lagu nasyid dengan gendang dilatarbelakangi oleh dilarangnya menggunaan alat musik selain alat musik perkusi oleh sebagian ulama Islam.
Kata Nasyid (Arab: أناشيد) merupakan senandung. Setelah itu, kata nasyid maknanya mengalami penyempitan yang awalnya bermakna senandung secara umum berubah menjadi senandung bernuansa Islami. Seni musik Islam ini dayakini telah ada dan berkembang sejak zaman Rasulullah.
Syair yang hingga kini cukup terkenal dan sering disenandungkan oleh majelis ta’lim serata tim qosidahan, yaitu thola’a badru ‘alaina (artinya sudah muncul rembulan di tengah-tengah kami), merupakan lagu yang disenandungkan umat Islam ketika menyambut kehadiran Nabi Muhammad Saw. Lagu ini dinyanyikan untuk menyambut Rasulullah yang untuk pertam kalinya hijrah ke Kota Madinah.
Setelah itu, lagu nasyid mengalami perkembangan bersamaan dengan berkembangnya situasi dan keadaan pada masa itu. Misalnya seperti nasyid yang berkembang di kawasan Timur Tengah. Nasyid di sini umumnya bertemakan pesan jihad dan mengumandangkan perlawanan melawan imperialism Israel. Tema-tema ini wajar muncul di sana karena memang keadaan politik di Timur Tengah sedang goyah.
Orang yang bersenandung dalam aliran nasyid disebut munsyid yang artinya yaitu orang yang menyanyikan atau membacakan syair. Nasyid itu bukan berarti hanya sekadar lantunan lagu, tetapi juga mempunyai nilai spiritual sangat tinggi, baik dari sudut pandang syairnya ataupun munsyid-nya. Intinya, lirik dalam musik nasyid harus mengandung nilai rohani atau nilai islami yang sangat kental dan kuat.
Nasyid bisa dibawakan dalam beragam gaya atau style, seperti nasyid dengan style acapella dengan irama pop, nasyid yang dibawakan dengan iringan perkusi yang umumnya berisi puji-pujian, dan ada juga nasyid yang dinyanyikan dengan alat musik lengkap.
Di Indonesia, nasyid biasa dibawakan dengan style acapella atau hanya diiringi dengan alat musik berupa gendang. Saat ini, telah banyak bermunculan grup vokal nasyid Indonesia seperti Snada, Bijak, Sam Abdullah, Harmoni Voice, Suara Persaudaraan, Izatul Islam, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Lalu, bagaimana sejarah nasyid di Indonesia? Berikut pembahasannya.
Sejarah Lagu Nasyid di Indonesia
Musik nasyid mulai datang ke Indonesia pada 1980-an yang saat itu hanya dinyanyikan pada forum-forum tertentu oleh sejumlah aktivis muslim di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Nasyid adalah sebuah sarana bagi para aktivis muslim untuk meningkatkan semangat dalam kelompoknya. Nsayid ini berisi syair yang bertemakan perjuangan yang menggelora di jalan Allah Swt atau fisabilillah.
Saat memasuki masa 1990-an, musik nasyid mulai dikenal luas oleh masyarakat dengan syair-syairnya yang mengandung pesan, pujian kepada Allah, dan kisah-kisah para nabi. Perkembangan musik berlairan nasyid di Indonesia ini ternyata memunculkan banyak grup vokal, misalnya Snada, Senandung Nasyid, Qatrunada, dan lain-lain. Walaupun lirik-lirik lagunya bersifat religious, tetpai dinyanyikan dengan gaya musik pop sehingga menjadikan nasyid semakin populer.
Saat memasuki bulan Ramadhan pada 2005, music beraliran nasyid makin populer di Indonesia. Bahkan, sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta mengadakan sebuah festival bernama Festival Nasyid Indonesia serta FestivaL Nasyid, Tausyah, dan Qiroah (NTQ), mirip seperti acara Indonesian Idol atau Akademi Fantasi yang saat itu sedang marak di kalangan masyarakat Indonesia. Namun sayang, peserta festival ini masih dipenuhi oleh pria dan tidak ada satu pun peserta dari kaum hawa.
Lagu Nasyid Itu Musik Islam?
Di dalam hukum Islam, sejumlah ulama memiliki perbedaan pendapat seputar hukum musik. Pihak yang melarang atau mengharamkan alat musik adalah ulama Muta’akhirin, sedangkan yang memperbolehkan atau menghalalkan alat musik adalah ulama Salaf dari golongan sahabat dan tabi’in.
Menurut kalangan mereka, tak ditemukan dalil dalam Al-quran and hadis yang dengan jelas mengharamkan alat musik. Disebabkan munculnya dua pendangan inilah, pada ulama telah sepakat untuk mengembalikan hukum bermusik pada hukum asalnya, yaitu mubah.
Lagu Nasyid dan Perempuan
Kehadiran kaum hawa di kancah musik nasyid tidaklah menjamur seperti grup nasyid pria pada umumnya. Walaupun begitu, pada 1990-an, sekelompok wanita muslimah meramaikan musik nasyid dengan membentuk kelompok nasyid bernama Bestari. Asma Nadia, seorang penulis terkenal, adalah salah satu personel dari Bestari. Bestari pada waktu itu sudah berhasil mengeluarkan dua album, yaitu Bestari I dan Bestari II.
Kemunculan kelompok nasyid perempuan ini sempat menciptakan kontroversi di masyarakat. Protes pun bermunculan tidak hanya dari tokoh agama, tetapi juga dari para muslimah sendiri yang juga menolak kehadiran Bestari. Penolakan ini dilatarbelakangi karena ada yang menganggap suara wanita itu aurat. Sebagia umat Islam masih menganggap suara wanita itu haram hukumnya jika diperdengarkan di depan umum karena merupakan aurat.
Semoga musik bisa terus melebarkan sayap dan semakin diterima luas di masyarakat. Tapi, hal yang paling penting adalah para munsyid-nya mampu menjadi contoh dan teladan sehingga apa yang didakwahkan dalam musik tersebut dapat diikuti oleh para pecinta lagu nasyid.
Sejarah Lagu Nasyid
Lagu nasyid masuk ke Indonesia pada pertengahan 1980-an dan mulai berkembang di lingkungan kampus. Nasyid adalah salah satu seni musik bernuansa Islami. Sebenarnya, nasyid sudah ada sejak masa awal Islam, tetapi nama nasyid sendiri waktu itu belum dikenal.
Bersyair atau bermusik lahir jauh sebelum agama Islam dibawa oleh Rasulullah. Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki berbagai macam jenis lagu, seperti nyanyian pengantar tidur, hymne, senandung, dan lain-lain. Seiring berkembangnya agama Islam, terciptalah satu jenis nyanyian yang menambah kekayaan khazanah Islamiyah. Rasulullah pada waktu itu tidak melarang syair-syair yang berembang di kalangan para sahabat.
Thala’al Badru ‘Alaina adalah nyanyian tertua dalam Islam. Nyanyian ini dinyanyikan oleh beberapa orang dengan iringan rebana untuk menyambut datangnya Rasulullah yang hijrah dari Makkah ke Madinah (1430 tahun yang lalu). Inilah permulaan berkembangnya syair dan lagu Islami.
Nyanyian Islami berkembang seiring meluasnya agama Islam. Pada zaman Dinasti Turki, berkembang satu irama bernama Zapin (gabungan antara irama Turki Arabia dan Spanyol). Zapin berkembang dari belahan dunia barat sampai ke belahan timur di negara-negara Asia Tenggara.
Di beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, dan Brunei, nama jenis irama musik ini tidak berubah. Sementara itu, di Filipina dan Maluku musik ini disebut dhana-dhana. Lagu dan syair berirama Zapin yang pernah terkenal di nusantara adalah sebagai berikut.
- Lancang Kuning
- Laksamana Hang Tuah
- Laksamana Raja di Laut
- Bunga Melur
Nasyid di Indonesia
Saat ini, lagu nasyid yang dikenal di Asia Tenggara sebenarnya bukan jenis musik baru dalam Islam. Pada awal kemerdekaan, jenis lagu ini sudah dinyanyikan di beberapa daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Masyarakat Betawi menyebutnya denngan Orkes Gambus, di Sumatera Utara dikenal dengan Irama Padang Pasir, dan
di Jawa disebut Qasidahan.
Di Sumatera Utara pada 1960-an, Hj. Nur Aisyah Djamil membentuk grup qasidah bernama Nasyid. Nama grup qasidah ini berasal dari singkatan nama pemimpinnya, yaitu Nur Aisyah Djamil. Inilah awal mula dikenalnya nasyid di Indonesia. Alat musik yang dipakai dalam nasyid tidak ada yang bernada dan hanya terdiri dari gendang dan rebana. Sementara itu, ada juga yang berpendapat bahwa nasyid berasal dari kata nasyd, yang artinya hymne.
Pada 1980-an, Nasyidaria, sebuah grup qasidah populer di Jakarta, mulai menghiasi layar televisi. Grup qasidah ini memakai alat-alat nusik modern, seperti gitar, organ, dan lain-lain. Beberapa tahun kemudian, Jamaah Al-Arqam hadir dengan lagu-lagu nasyid diiringi alat musik tanpa nada, bahkan sebagian lagunya dinyanyikan tanpa alat musik. Di Asia tenggara, Al-Arqam sempat membahana. Lagu-lagu mereka yang cukup terkenal adalah Asmaul Husna, Sunnahnya Orang Berjuang, dan Di Pondok Kecil.
Lagu-lagu nasyid kembali membahana pada 2000-an. Hal yang paling menonjol dari lagu nasyid zaman ini adalah unsur syariat Islam. Selain itu, para penyanyinya didominasi kaum pria. Pada era sebelumnya, para penyanyi nasyid didominasi kaum wanita. Alat musik yang digunakan saat ini adalah alat musik tanpa nada. Bahkan, sekarang muncul teknik acapella yang digarap dengan baik.
semoga saja team nasyid sekarang ga merubah visi dan misi dari nasyid yaitu sebagai kesenian islam dan untuk berdakwah...
Langganan:
Postingan (Atom)