Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini, dan
akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim
dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Shofwan bin ‘Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.”
Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya
penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan
sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki
sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang
mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu,
kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR.
Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671]).
Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara
langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah
meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut
(lihatFath al-Bari [1/237]).
Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari
dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara
mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang
alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan
orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu
sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalamKitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu
di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas.
Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan
hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan
ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai.
Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak
ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.”
(lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Allah subhanahu menjadikan
ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi
tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula
tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak
diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan.
Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu
itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang
hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang
benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata
yang ringkas dan tepat sasaran.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata kepada para
sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para
ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang
suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya
amat sedikit.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu
yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam
hatinya, oleh sebab itu mereka bisa memahami berbagai perumpamaan yang
diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 50).
Imam Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang
berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang
yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga
mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada Allah. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS.
Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para
ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling
mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam
kacamata syari’at Islam (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang
maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan
tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada
Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa
takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga
menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun
dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah
maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat
kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir
kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur’an.”
(lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai
Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika
ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah
kamu ketahui?”. Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang
selama dia hidup di dunia melainkan pasti menanyainya pada hari kiamat
(lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi
memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat
Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa
menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia
adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk
memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah.” (lihat
Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki’, hal. 69)
Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku
tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk
menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang
paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka
beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.”
(lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa
banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara
dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang
lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah.
Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri
justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab
Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat
Allah. Wassalam.” (lihatTa’thirul Anfas, hal. 570)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat
kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli
ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.”
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah
tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi
mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “…
Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha
Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya
amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak
akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang
lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu
itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu
dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan
dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata
ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang
berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang
sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun
tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan
belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang
dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki
rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa
menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud
kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama
kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan
perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi
salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia
biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin
beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu
sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam
kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku berkata kepadanya,
“Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.”
Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian
ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”.
Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah
kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku!
Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai
seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar